Oleh : Abdul Halim Iskandar*
IMPLEMENTASI Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi titik mula diterapkannya paradigma pembangunan dari bawah (desa). Dikatakan demikian karena secara sosiologis mayoritas penduduk dengan segala permasalahannya berada di desa dan kebijakan otonomi desa salah satunya dimaksudkan untuk menggairahkan ekonomi lokal serta penghidupan masyarakat desa. Karena itulah, UU tersebut mewarisi konsepsi local economic development (LED).
Sebagai sebuah proses pembangunan partisipatif, LED mendorong pengaturan kemitraan antarpihak, memungkinkan terumuskannya rancangan dan implementasi strategi pembangunan bersama, memanfaatkan sumber daya lokal dan keuntungan kompetitif dalam konteks global, dengan tujuan akhir menciptakan pekerjaan yang layak dan merangsang kegiatan ekonomi (Gasser dkk, 2005). LED mengisyaratkan ikhtiar pembangunan di tingkat lokal desa yang tidak bisa lepas dari potensi desa, perencanaan yang partisipatif, serta pelaksanaan yang transparan dan akuntabel. Tidak dibenarkan elite capture menjadi “panglima” dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. Dengan kata lain, pembangunan pada lokal desa harus mengedepankan pemberdayaan masyarakat, menjadikan masyarakat desa sebagai subjek dan objek pembangunan sekaligus.
Sejatinya kerangka pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa telah dilaksanakan pemerintah Indonesia sebelum ditetapkannya UU Desa. Salah satunya untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan, perluasan kesempatan kerja dan usaha bagi masyarakat pedesaan, pemerintah melalui Perpres 15/2010 meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Salah satunya adalah PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd) yang dikembangkan dari program pengembangan kecamatan (PPK).
Program itu tersebar di 5.301 kecamatan dan 404 kabupaten/kota. Bentuk kegiatannya adalah bantuan langsung masyarakat (BLM) yang bersumber dari bantuan sosial/hibah. Pengguliran BLM yang selanjutnya disebut dana bergulir masyarakat (DBM) dilakukan kelembagaan ad hoc yang dibentuk musyawarah antardesa (MAD) bernama unit pengelola kegiatan/UPK (berkedudukan di kecamatan) dan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat di desa-desa melalui tim pengelola kegiatan (TPK).
Transisi Program Pemberdayaan Desa
Akhir 2014, pelaksanaan PNPM-MPd berakhir bersamaan dengan lahirnya UU Desa. Pada 2015 Kementerian Desa-PDTT diresmikan melalui Perpres 12/2015.
Peristiwa hukum ini ditindaklanjuti dengan serah terima pembiayaan pegawai dan dokumen (P2D) dari Kementerian Dalam Negeri kepada Kemendes-PDTT pada April 2015. Salah satu bagian tak terpisahkan dari serah terima adalah penyerahan kewenangan penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat desa serta aset kelembagaan maupun aset dana bergulir eks PNPM-MPd.
Terjadinya perbedaan tafsir terkait keberlanjutan pengelolaan DBM oleh UPK telah memunculkan banyak permasalahan yang bertentangan dengan UU Desa dan bermuara pada penurunan kualitas partisipatif masyarakat. DBM hanya dinikmati pengelola/pengurus dan kelompok orang yang terlibat pengelolaan dana bergulir. Sedangkan masyarakat desa sebagai pemilik DBM tidak dapat menerima manfaatnya.
Pertama, pengelolaan DBM tidak sesuai dengan petunjuk teknis operasional PNPM-MPd. Dalam kondisi minim pembinaan dan pengawasan, beberapa UPK mengidentifikasi dirinya sebagai “penguasa” aset dan dana bergulir.
UPK cenderung melakukan perencanaan sendiri tanpa melalui MAD. Bahkan cenderung mengabaikan pertanggungjawaban kepada badan kerja sama antardesa (BKAD) sebagai pemegang mandat wakil dari seluruh masyarakat desa di kecamatan.
Kedua, “privatisasi” kelembagaan UPK beserta aset-asetnya. Ada upaya pengalihan bentuk kelembagaan yang semula bersifat ad hoc ke dalam bentuk lembaga privat seperti koperasi, perusahaan/perseroan terbatas (PT), dan perkumpulan berbadan hukum (PBH).
Ketiga, permasalahan hukum pengelolaan dan pengguliran DBM. Penyalahgunaan peruntukan atau pengguliran DBM serta pengelolaan UPK yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan menjadi penyebab pengelola UPK mempertanggungjawabkan di depan aparat penegak hukum.
BUM Desa Bersama
Berdasar catatan Kemendes-PDTT, sampai 2017 DBM telah dimanfaatkan langsung oleh 653.759 kelompok masyarakat (rata-rata kelompok beranggota 20 orang). Selain aset kelembagaan, DBM tercatat memiliki total aset sekitar Rp 12,6 triliun (laporan dari sebagian besar dinas PMD provinsi) dengan sebaran sebanyak 46 persen di Pulau Jawa dan 54 persen di luar Jawa. Apabila dikelola dengan benar dan baik, aset itu akan mempercepat akselerasi desa. Dari desa tertinggal, bahkan sangat tertinggal, menjadi desa maju dan desa mandiri.
Filosofi perguliran dana masyarakat sejak awal (PNPM-MPd) sangat berbeda dengan praktik lembaga keuangan mikro. Sehingga pilihan menjadikannya sebagai lembaga keuangan mikro, baik dalam badan hukum PT ataupun koperasi, bukanlah pilihan tepat. Apalagi, sumber satu-satunya DBM adalah bantuan langsung pemerintah kepada masyarakat dalam bentuk uang dan pemupukan modal. Sama sekali tidak mengerahkan dana masyarakat dalam bentuk/produk apa pun. Sehingga jelas, status kepemilikan atas dana dan aset lain yang diperoleh dari aktivitas tersebut sepenuhnya milik masyarakat desa.
UU Desa mengatur kelembagaan usaha/pelayanan antardesa dengan basis kerja sama antardesa melalui kelembagaan BKAD. Selanjutnya, terkait reorganisasi UPK, tata kelolanya dapat diatur dalam AD/ART yang memuat seluruh isi aturan PTO-SOP PNPM-MPd. Dengan demikian, bentuk yang sesuai untuk lembaga pengelola DBM hasil PNPM-MPd adalah badan usaha milik desa bersama (BUMDesma), unit pelayanan DBM.
Untuk itu, diperlukan sinergi antarlembaga untuk menyelesaikan problem kelembagaan ini agar DBM dapat dimanfaatkan kembali oleh seluruh masyarakat desa, bukan hanya oleh segelintir elite pengelola. Dengan demikian, DBM akan menjadi salah satu pijakan kita dalam mewujudkan kebangkitan dan kemandirian desa, kemaslahatan warga, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), baik dari sisi kesehatan maupun pendidikan. Inilah salah satu fondasi mewujudkan Desa Surga, Desa Semua untuk Warga. (*)
*) A. Halim Iskandar, Menteri desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi serta ketua DPW PKB Jawa Timur