JAKARTA,RADARDESA.CO – Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar menuturkan dana desa dapat digunakan untuk mendukung biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) bagi siswa-siswi tak mampu di daerah.
Hal tersebut merupakan salah satu upaya kementeriannya dalam mendukung Strategis Nasional Penanganan Anak Tidak Sekolah (Stranas ATS).
“Khusus pemerintah desa, program dan kegiatan yang mendukung Stranas ATS dapat dipraktekkan secara arif dengan menyalurkan bantuan biaya sekolah bagi anak didik atau bagi anak tidak sekolah atau putus sekolah karena ketidakmampuan ekonomi,” ucapnya dalam peluncuran Stranas ATS, Rabu (23/12).
Abdul mengungkap desa juga dapat menyalurkan peralatan persiapan untuk masuk sekolah bagi kalangan keluarga miskin yang diikuti dengan penyediaan bantuan biaya pendidikan seperti transportasi, uang buku dan lain-lain.
Hal tersebut dapat diberikan kepada peserta didik mulai dari jenjang sekolah menengah pertama hingga atas. “Pemberian bantuan biaya pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus juga perlu dipersiapkan,” tuturnya
Selain itu, penyediaan smartphone dan langganan internet bersama bagi keluarga tidak mampu ketika pendidikan dilaksanakan secara daring juga harus dapat dilakukan menggunakan dana desa.
“Bahkan jika dibutuhkan, desa juga dapat membiayai operasionalisasi pelatihan anak-anak di luar jam sekolah,” terang Abdul.
Abdul melanjutkan kementeriannya juga terus berkomitmen untuk memastikan terwujudnya program Desa Peduli Anak agar pada pejabat desa lebih memperhatikan kesehatan dan pendidikan anak.
Pasalnya meski angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar (SD) di desa relatif sama dengan kota, namun terjadi ketimpangan pada pendidikan menengah pertama dan atas (SMP-SMA).
Pada 2019, misalnya APM SD di desa mencapai 97 persen, sementara di kota sebesar 98,18 persen. Namun untuk SMP, APM di desa masih di angka 74,98 persen sedangkan di kota sebesar 81,89 persen.
Terakhir, APM SMA di desa masih di angka 49,6 persen sementara di kota sebesar 59,3 persen. “Partisipasi murni sekolah dasar di desa relatif telah serupa dengan kota. Namun kesenjangan mulai muncul pada sekolah menengah,” tandasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Bappenas Suharso Monoarfa mencatat angka absolut anak tidak sekolah di Indonesia mencapai 4,34 juta jiwa dan 3,1 juta di antaranya merupakan anak dengan kelompok umur 16-18 tahun.
Sementara anak kelompok umur 13-15 tahun yang tidak sekolah mencapai 987 ribu dan kelompok umur 7-12 tahun mencapai 241 ribu. Hal ini, kata Suharso, adalah kendala yang perlu diselesaikan pemerintah sebelum bicara soal ketimpangan pendidikan.
“Dalam memastikan pemerataan layanan pendidikan Indonesia masih terkendala dengan adanya anak-anak kita yang sulit dan bahkan tidak dapat menjangkau layanan pendidikan,” tuturnya.(hrf/age).
Sumber : cnnindonesia.com